Ikang Fawzi & Marissa haque Duta LP3I di Langsa, Aceh Timur, Maret 2011

Ikang Fawzi & Marissa haque Duta LP3I di Langsa, Aceh Timur, Maret 2011
Ikang Fawzi & Marissa haque Duta LP3I di Langsa, Aceh Timur, Maret 2011

LP3I Langsa, aceh Timur, Kampung halaman Bapak Dr. Syahrial (Owner LP3I)

LP3I Langsa, aceh Timur, Kampung halaman Bapak Dr. Syahrial (Owner LP3I)
Marissa Haque & Ikang Fawzi: Promo LP3I Langsa, Aceh Timur, Maret 2011

Asmaul Husna, Islam, Aceh, Ikang Fawzi, Marissa Haque, LP3I

Asmaul Husna, Islam, Aceh, Ikang Fawzi, Marissa Haque, LP3I
Asmaul Husna, Islam, Aceh, Ikang Fawzi, Marissa Haque, LP3I

Duta LP3I Marissa Haque & Branch Manager LP3I Langsa, Aceh Timur, Bapak Zulkifli

Duta LP3I Marissa Haque & Branch Manager LP3I Langsa, Aceh Timur, Bapak Zulkifli
Duta LP3I Marissa Haque & Branch Manager LP3I Langsa, Aceh Timur, Bapak Zulkifli

Pendaftaran LP3I Tahun Ajaran 2010-2011

Telah dibuka Pendaftaran siswa baru tahun Ajaran 2010-2011 Semua Jurusan LP3I Business College Cabang Langsa. Informasi Pendaftaran Silakan Datang Langsung Ke LP3I Cabang Langsa JLN.ISKANDAR SANI NO. 10-11. KAMPUNG MEUTIA KOTA LANGSA. TELP. 0641 22312, SMS 081269246490 atau Melalui Pendaftaran Online KLIK DISINI

Kamis, 07 April 2011

Samiaji Bintang dalam Marissa Haque Fawzi: Sukma Surya Paloh

Menguak Sukma Surya Paloh

Copyright © 2007 by MK Fine Arts

Copyright © 2007 by MK Fine Arts

Yayasan Sukma didirikan Surya Paloh dari dana publik untuk korban bencana Aceh-Nias. Bagaimana pengelolaan dananya? Popularitas Paloh juga terdongkrak, karena momentum ini.

GELOMBANG uang melanda Aceh setelah stasiun televisi Metro TV menayangkan dampak tsunami yang menghantam tanah rencong itu pada 26 Desember dua tahun silam. Selama 40 hari penuh lewat siaran “Breaking News” dan program ”Indonesia Menangis”, stasiun swasta tersebut berhasil menguras air mata pemirsa di luar Aceh. Siaran itu pula yang menggugah pemirsa untuk menyumbangkan harta benda maupun uang mereka. Bahkan tak sedikit pemirsa nekat jadi sukarelawan setelah menontonnya.

Kabar duka Aceh pun segera tersiar di luar negeri. Selang beberapa pekan, 15 negara donor sepakat menyatukan bantuan mereka dalam Dana Multi Donor bagi Aceh dan Nias, sebesar 525 juta dolar AS. Lembaga ini dipimpin secara kolektif oleh perwakilan Uni Eropa (yang merupakan pendonor terbesar), Bank Dunia, dan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Bank Pembangunan Asia tak ketinggalan mengucur dana 300 juta dolar AS.

Jakarta benar-benar sibuk. Bos Metro TV, Surya Paloh, segera menggelar rapat, membentuk tim, lalu mengatur penyaluran bantuan ke Aceh. Gudang yang terletak di kompleks Media Group tak mampu membendung banjir bantuan pangan dan sandang dari jutaan pemirsa.

Paloh menghubungi kolega-koleganya di maskapai penerbangan. Lion Air, Adam Air, Airfast, dan beberapa maskapai lainnya setuju ikut urun bantuan. Alhasil penggalangan bantuan yang bertumpuk di Kedoya, markas besar Media Group di Jakarta, pelan-pelan mengalir ke Aceh.

Di samping menerima bantuan barang, melalui “Indonesia Menangis” stasiun swasta ini membuka rekening di Bank Central Asia dan Bank Mandiri. Dana yang terkumpul juga menggunung. Dalam tempo kurang dari sepekan sudah terkumpul Rp 40 miliar!

Mutia Safitri termasuk satu dari jutaan pemirsa yang menyaksikan “Indonesia Menangis” dan tak kuasa membendung ibanya pada Aceh. Mutia adalah pegawai di bagian asuransi ekspor PT Asuransi Ekspor Indonesia.Dia langsung mengkoordinasi pengumpulan dana di kantornya yang terletak di lantai 22 gedung Menara Kadin, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Hasil kerja spontan itu cukup lumayan. Mutia yang dibantu beberapa rekannya berhasil mengumpulkan uang Rp 5,33 juta dari sekitar 50 karyawan. Tiga hari setelah tsunami menyapu Aceh, 29 Desember 2004, Mutia lekas-lekas menyalurkan dana itu ke rekening PT Citra Media Nusa Purnama di Bank BCA atas nama karyawan PT Asuransi Ekspor Indonesia.

Mutia tak peduli jika itu rekening perusahaan milik Surya Paloh. Padahal rawan juga memasukkan dana publik ke rekening perusahaan yang jelas bertujuan bisnis.

“Niatnya, ya ikhlas saja karena terdorong rasa kemanusiaan,” kata Mutia pada saya.

Selain Metro TV, sejumlah media elektronik dan cetak membuat program serupa. Stasiun SCTV meluncurkan “Pundi Amal SCTV”. RCTI menayangkan “RCTI Peduli”. Kelompok Kompas Gramedia mengetuk hati pembaca lewat “Dompet Kemanusiaan Kompas”. Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Republika serentak membuka jalur bantuan dari pembaca mereka.

Dalam buku Galang Dana Ala Media yang diterbitkan Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) pada 2003, terbukti bahwa media televisi menempati urutan pertama untuk menggaet simpati pemirsa. Alasannya sederhana, pesan lewat media lebih mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi rasa kemanusiaan publik.

Penelusuran PIRAC baru-baru ini mengungkap total penggalangan dana masyarakat lewat media elektronik dan cetak untuk korban tsunami di Aceh dan Nias selama satu bulan pasca bencana. Jumlahnya mencapai Rp 310,891 miliar. Angka itu terus bertambah kendati tak meledak. Hingga Agustus 2005, jumlah dana bantuan yang terhimpun sekitar Rp 367,170 miliar.

Namun tak ada yang menyamai rekor program pengumpulan dana yang dilakukan Paloh dan anak buahnya. Media Group menduduki rangking pertama dengan angka mencapai Rp 169,185 miliar. Di peringkat kedua tak lain Kelompok Kompas Gramedia–termasuk TV7—yang menuai Rp 50,687 miliar.

Sejak itu Paloh jadi populer.

SURYA Dharma Paloh putra Aceh. Dia lahir di Kutaraja, Banda Aceh, 55 tahun silam. Bapaknya, Muhammad Daud Paloh, pernah menjabat Komandan Kepolisian Resort Tapanuli Utara.

Paloh muda ikut mendirikan Persatuan Putra-Putri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tahun 1968 di Medan.

Umur 19 tahun dia sudah jadi kandidat legislator Partai Golongan Karya (Golkar) tingkat lokal. Selain terjun ke politik, Paloh juga berbisnis. Pelan-pelan kedua jalur itu membawanya ke Jakarta. Di ibukota, dia mulai mengibarkan bendera usaha di media massa.

Pada 1986 Paloh menerbitkan suratkabar Prioritas. Tapi umur harian ini tak panjang. Prioritas dibreidel Harmoko, yang ketika itu menjabat menteri penerangan. Pasalnya, Prioritas menerbitkan ramalan tentang ekonomi makro pemerintah Indonesia yang dianggap menyesatkan dan meresahkan masyarakat.

Tapi Paloh tak patah arang. Dia menerbitkan koran lagi. Kali ini diberi nama Media Indonesia. Bahkan, dua tahun setelah Soeharto turun, tepatnya pada 18 November 2000, Paloh merambah dunia penyiaran. Dia mendirikan televisi berita 24 jam pertama di Indonesia: Metro TV.

Perusahaannya, PT Media Televisi Indonesia, berhasil mengantongi izin frekuensi yang diterbitkan Departemen Penerangan. Hampir tiga tahun setelah itu, Metro TV punya gedung berlantai sembilan di kawasan Kedoya, Jakarta Barat.

Namun, Paloh selalu kembali pada politik. Dia masih kader loyal Partai Golkar.

Menjelang Pemilu 2004, Paloh ikut Konvensi Nasional yang digelar partai berlambang beringin itu. Konvensi bertujuan memilih dan menetapkan calon Presiden Republik Indonesia dari Partai Golkar.

Dia bersaing dengan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung. Kandidat lain yang berkompetisi di situ termasuk pensiunan jenderal macam Wiranto dan Prabowo Subiyanto. Dari kalangan aktivis perempuan ada Marwah Daud Ibrahim.

Metro TV menyiarkan langsung proses pemungutan suara. Tapi Paloh gagal. Pemenangnya, Wiranto.

HARI berganti hari, bulan berganti bulan, derasnya arus bantuan ke Aceh dan Nias tak lagi hebat, seiring surutnya air mata pemirsa. Perhatian orang tercerap ke dalam berbagai berita aktual, infotainment, reality show, dan siaran lain.

”Pergerakannya tidak begitu signifikan setelah momentum itu hilang,” kata F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia, kepada saya April lalu.

Dua hari selepas tsunami, Saiful ikut bergabung dalam tim yang dipimpin Paloh ke Aceh dan Nias.

Kondisi Aceh pasca tsunami hancur-hancuran. Setahun setelah tsunami, meenurut catatan BRR, masih ada sekitar 67.500 pengungsi yang tinggal di tenda-tenda darurat. Sedikitnya 50 ribu orang masih menempati barak-barak. Sebagian lainnya menumpang di rumah sanak-saudara.

Aceh dan Nias masih membutuhkan sekitar 120.000 rumah baru. Hingga Maret tahun ini, yang selesai dibangun baru 30 persen. Sedangkan dari 3.000 kilometer panjang jalan yang rusak, baru 235 kilometer yang selesai dibenahi. Lima pelabuhan baru dibangun dari total 14 pelabuhan yang hancur.

Menurut Saiful, kondisi tersebut membuat Paloh berencana mendirikan sebuah yayasan. Lembaga nonprofit ini bakal bergerak di bidang sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.

Struktur organisasi dibentuk. Paloh duduk sebagai Pembina. Lestari Moerdijat sebagai Ketua Yayasan. Hasballah M. Saad, tokoh Aceh yang pernah jadi Menteri Negara Hak Asasi Manusia di era Gus Dur, didaulat menduduki kursi Penasehat. Posisi Ketua Majelis Pendidikan ditempati Komaruddin Hidayat. Di Universitas Islam Negeri Jakarta, dia menjabat Direktur Program Pendidikan Pascasarjana. Hasballah, selain menjadi penasehat juga bertugas di Bagian Hubungan Eksternal. Ketua Tim Pelaksana Pendidikan dipegang Ahmad Baedowi.

Jajaran pengurus harian diisi petinggi-petinggi kelompok usaha Media Group. Firdaus Dayat, Manajer Keuangan Metro TV, misalnya, menduduki posisi yang sama di yayasan. Liese Budianto, Manajer Pemasaran perusahaan jasa boga Indocater, memimpin bagian administrasi. Bagian proyek dipimpin General Manager General Affair Media Group, Mutyadewi Soebagio. Sedangkan F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia, mengepalai Bagian Promosi dan Hubungan masyarakat.

“Mereka yang direkrut dipilih berdasarkan spesialisasi dan kompetensi. Umumnya mereka juga pernah terlibat di awal-awal pengumpulan dan penyaluran bantuan,” ujar Saiful.

Berbeda dengan tenaga profesional yang mendapat gaji, para pengurus harian bekerja cuma-cuma. ”Karena sudah dapat gaji dari Media Group,” ujarnya, lagi.

Pada 15 Februari 2005, Paloh bersama Lestari Moerdijat, Ana Widjaya, Rahmi Lohwur dan Rachmadi Heru mendirikan Yayasan Sukma. Mereka semua orang Media Group. Stafnya direkrut lewat iklan lowongan yang dimuat Media Indonesia.

Yayasan ini beralamat di kompleks Metro TV, Kedoya. Tapi kantor operasionalnya terletak di Jalan RP Soeroso, Gondangdia Lama, di sebelah gedung Indocater.

AWAL Mei 2005, dana program bantuan “Indonesia Menangis” senilai Rp 134,028 miliar yang dikumpulkan dari pemirsa diserahkan kepada Yayasan Sukma. Tapi mestikah dana masyarakat miliaran rupiah itu diserahkan kepada lembaga baru ini? Mengapa dana tersebut tak langsung disalurkan pada lembaga-lembaga bantuan yang sudah berpengalaman dan lebih siap mendistribusikannya, misalnya?

Alasan resmi Yayasan Sukma tertera pada laporan kegiatan kemanusiaan ”Indonesia Menangis Media Group” yang dimuat Media Indonesia pada 4 Mei 2005: ”agar seluruh pengelolaan dana sumbangan masyarakat melalui Dompet Kemanusiaan Indonesia Menangis dapat berjalan lebih efektif dan dikelola secara lebih profesional untuk jangka panjang.”Namun tak banyak penyumbang yang tahu soal rencana dan penyerahan dana “Indonesia Menangis” ke Yayasan Sukma. Namun, Mutia Safitri dari PT Asuransi Ekspor Indonesia tak ambil pusing.

“Selama itu positif, kita setuju saja,” ujar Mutia.

Aksi Paloh memindahkan dana publik ke yayasan yang didirikannya itu dikritik Hamid Abidin. Dia peneliti dan mengepalai program Penguatan Kapasitas Organisasi Masyarakat Sipil di PIRAC. Bersama timnya, Hamid pernah melakukan penelitian soal efektivitas penggalangan sumbangan yang dilakukan media massa pada 2003. Menurutnya, sebelum dana sumbangan itu dialihkan, rencana itu mesti diumumkan kepada donatur atau publik.

“Secara etika harus declare (diumumkan) dulu kepada donatur. Secara hukum, donatur bisa menggugat, karena itu dana publik. Di kita (Indonesia) unik. Ada kesan begitu dana terkumpul bisa diapakan saja, terserah pengumpul dana. Padahal itu kan dana publik,” ujar Hamid. Kini Hamid dan tim PIRAC tengah menyusun laporan soal penggalangan dana lewat media untuk tsunami di Aceh dan Nias.

Protes boleh saja, tapi dana itu sudah mengalir. Yayasan Sukma, dalam laporan keuangannya, mengklasifikasikan uang miliaran itu sebagai bagian kontribusi yang tidak dibatasi dalam laporan aktivitas dan perubahan aktiva bersih. Yayasan ini juga sudah merekrut 38 karyawan kontrak untuk melancarkan program-program mereka, termasuk lagi-lagi… melakukan penggalangan dana.

Lebih dari separuh dana dialokasikan Yayasan Sukma ke proyek pembangunan tiga kompleks sekolah, yaitu di Lhok Seumawe seluas 7,23 hektar, di Pidie seluas 7,5 hektar, dan di Bireuen seluas 7,2 hektar. Di luar itu, satu kompleks sekolah juga dibangun di Nias, Sumatera Utara.

Untuk tiga kompleks sekolah yang dibangun di Aceh total dana mencapai Rp 78 miliar. Konstruksinya dilakukan dua kontraktor, PT Adhi Karya dan PT Hutama Karya. Proyek sekolah di Nias yang menghabiskan dana sebesar Rp 4,85 miliar dikerjakan PT Waskita Karya.

Sekolah Sukma Bangsa. Begitu nama lengkap sekolah impian itu. Agar mimpi tersebut jadi kenyataan, yayasan menggandeng Institute for Society Empowerment atau INSEP sebagai konsultan. Lembaga yang berkantor di Ciputat, Tangerang, ini diketuai Ahmad Baedowi. Pria ini dari kalangan dalam. Dia adalah Ketua Tim Pelaksana Pendidikan di Yayasan Sukma.

INSEP dikontrak untuk membuat cetak biru seluruh kompleks sekolah. Mereka juga diamanatkan untuk menerapkan, mengembangkan, dan memelihara sistem pendidikan Sekolah Unggulan Kemanusiaan atau disingkat SUKMA.

Pada 21 Mei lalu INSEP resmi dikontrak 19 bulan. Bayarannya Rp 181.303.122. Dari jumlah itu, biaya persiapan pendidikan menelan dana sekitar Rp 7,809 miliar. Sisanya untuk biaya manajemen.

Rencananya di setiap kompleks sekolah dibangun fasilitas pendidikan tingkat dasar hingga tingkat menengah. Masing-masing terdiri dari 12 sekolah dasar, enam sekolah menengah pertama, dan enam sekolah menengah atas. Kompleks itu juga dilengkapi kantor sekolah, asrama putra dan putri, lapangan olah raga serta mushola. Fasilitas perpustakaan dan laboratorium juga dibangun.

Yang menakjubkan, orangtua murid tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk biaya sekolah anak mereka di situ. Gratis!”Seluruh biaya diambil dari Dana Abadi, yaitu dana yang disisihkan dari sumbangan masyarakat yang dipercayakan kepada Media Group,” kata Paloh seperti dilansir Media Indonesia.

Karena dibangun di atas tanah yang disediakan pemerintah setempat, setelah selesai pembangunannya yayasan akan menyerahkan pengelolaan sekolah-sekolah itu ke pemerintah setempat dan menjadi sekolah negeri.

Semula proyek ditargetkan selesai akhir 2005, tapi meleset. Tanda-tanda proyek rampung baru terlihat tahun ini. Di Pidie gedung-gedung bergenteng merah sudah berdiri megah. Kompleks sekolah tersebut dikelilingi pagar tinggi. Dari luar tampak bangunan asrama, lapangan bola, hingga gedung musola berkubah setengah bola. Begitu pula di pembangunan Bireuen dan di Lhokseumawe.

Bangunan sekolah itu terlihat mewah. Tapi Hamid Abidin dari PIRAC malah menganggapnya mubasir.

“Mestinya kan tanya kepada para korban. Apa iya, orang-orang Aceh butuh sekolah yang sangat-sangat modern begitu? Jangan-jangan mereka hanya butuh sekolah yang ukuran standar, sehingga sisa dana miliaran rupiah itu bisa didistribusikan untuk keperluan yang lain,” katanya.

Sebenarnya bangunan sekolah yang bagus dan fasilitas lengkap justru membuat proses belajar-mengajar lebih nyaman dan efektif untuk anak-anak Aceh. Lucu juga pikiran orang ini, pikir saya. Hamid kemudian mengajukan alasan lain. Dia cemas bias kepentingan muncul di sana.

”Misalnya, dalam teknis penyaluran bantuan jangan sampai yang menonjol justru tokoh atau medianya. Padahal bantuan yang diberikan itu kan dana publik. Ini yang harus dibatasi. Kalau tidak, akan menimbulkan orang curiga.”

Paloh orang politik. Popularitas itu wajib hukumnya di arena politik, selain berkantong tebal. Tapi sejauh mana Yayasan Sukma menjadi kendaraan politik Paloh? Saya mengirim email pada F. Saiful Bahri, Manajer Promosi Media Indonesia merangkap Kepala Bagian Promosi dan Hubungan Masyarakat Yayasan Sukma, menanyakan soal ini. Saiful sama sekali tak menjawab pertanyaan saya. Bunyi pesan pendek yang dikirimnya juga ganjil: “Sudah ada kontak pimpinan Sukma-Pak Baedowi-Pak Hamid Basyaib.”

Hamid Basyaib? Dulu dia adalah kontributor majalah Pantau. Dia punya kolom khusus di situ. Dia menulis politik dengan gaya satir dan lucu. Setelah majalah tutup dan Yayasan Pantau bergerak di bidang pelatihan jurnalisme serta sindikasi media, Hamid kemudian menjadi penasehat yayasan ini.

Ketika saya mengungkap pernyataan Saiful padanya, Hamid malah tercengang.

“Ada urusan apa? Tidak pernah ada kontak dengan saya. Saya memang berteman dengan Baedowi. Tapi hanya secara pribadi. Dan saya tidak pernah dihubungi soal itu,” katanya kepada saya, dalam sebuah percakapan telepon.

SEPARUH mimpi Paloh sudah di depan mata. Tapi bagaimana dengan laporan pengelolaan anggaran miliaran rupiah yang jadi amanat pemirsa “Indonesia Menangis”?

“Itu ‘kan dana publik, dan filantropi ini ‘kan bisnis kepercayaan. Yayasan harus mengumumkan laporan keuangannya ke publik,” ujar Hamid Abidin.

Laiknya organisasi nirlaba lainnya, yayasan memperoleh sumber dana dari sumbangan. Para penyumbang perlu mengetahui kerja organisasi itu lewat laporan keuangan. Publik ingin tahu sumbangan mereka digunakan untuk apa saja.

Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 soal pelaporan keuangan organisasi nirlaba yang dirilis Ikatan Akuntan Indonesia, pengguna laporan akan menilai dua hal dari laporan keuangan organisasi nirlaba.

Pertama, jasa yang diberikan organisasi dan kemampuannya untuk terus memberikan jasa. Kedua, menilai cara manajer melaksanakan tanggung jawabnya dan aspek kinerja manajer.

Saiful setuju soal audit terhadap pengelolaan dana yayasan. Alasannya, hasilnya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap yayasan.

”Sebelum yayasan didirikan kami sudah berkonsultasi dengan E&Y. Karena kami berpikir bahwa dana yang terkumpul ini harus dikelola secara transparan dan akuntabel,” kata Saiful, seraya memberikan salinan dokumen hasil auditor independen itu kepada saya.

Ernst & Young (E&Y) merupakan lembaga auditor independen profesional dunia yang membuka cabang di sejumlah negara. Menurut sejarah, kantor akuntan publik ini hasil dari serangkaian penggabungan dari beberapa kantor akuntan. E&Y banyak mengaudit perusahaan beraset miliaran dolar. Antara lain waralaba McDonald’s, Wal-Mart, 3M, Oracle, Google, Intel, Hewlett-Packard, hingga raja minuman ringan Coca Cola.

Di bawah bendera kantor akuntan internasional E&Y, Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko & Sandjaja mengaudit laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, perubahan aktiva bersih, dan laporan arus kas sejak Yayasan Sukma berdiri hingga 31 Oktober 2005. Laporan hasil auditor independen itu dirilis 27 Januari 2006 lalu dan ditandatangani Ronny Wijata Dharma dengan izin akuntan publik nomor 98.1.0141.

Dalam laporan posisi keuangan tersebut tertulis jumlah aktiva sebesar Rp 146.670.988.594. Jumlah aktiva lancarnya Rp 95.622.829.746. Dari dana itu, nilai total kas dan setara yang antara lain dalam bentuk kas, kas yang disimpan di bank, dan dalam bentuk deposito berjangka sebesar Rp 90.981.906.556.

Aktiva tak lancar sebesar Rp 51.048.158.848. Senilai Rp 50.206.260.494 berasal dari proyek sekolah yang bakal disumbangkan ke pemerintah daerah.

Total penerimaan yayasan yang berasal dari pendapatan yang tidak dibatasi berjumlah 142.566.067.482. Sebesar Rp 138.706.145.734 bersumber dari kontribusi yang tidak dibatasi.

Di dokumen tersebut tercatat program “Indonesia Menangis” yang digalang Metro TV menyumbangkan uang sebesar Rp 134.028.565.849. Penyumbang perusahaan senilai Rp 3.496.959.424, dan penyumbang individu Rp 1.180.620.461.

Selain dari kontribusi, penerimaan yang diperoleh yayasan bersumber dari nisbah dan pendapatan bunga setelah dikurangi pajak sejumlah Rp 3.288.031.748. Lalu hasil penghimpunan dana sebesar Rp 571.890.000.

Sedangkan biaya operasi yayasan dibagi dua. Pertama biaya proyek yang terdiri dari proyek pendidikan dan proyek kemanusiaan dan keagamaan. Totalnya Rp 5.185.371.194.

Biaya operasi kedua digunakan untuk biaya administrasi senilai Rp 3.193.334.350. Manajemen dan umum menelan biaya Rp 2.754.764.439. Untuk penghimpunan dana sebesar Rp 433.626.350. Senilai Rp 4.943.561 untuk biaya lain-lain.

Pada poin biaya operasi untuk biaya administrasi manajemen dan umum tercatat sebanyak Rp 2.754.764.439. Dari jumlah ini, biaya untuk komponen gaji sebesar Rp 1.301.997.673. Sehingga total biaya operasi senilai Rp 8.378.705.544.

Menurut konvensi, maksimal biaya operasional adalah seperlima dari total bantuan. Semakin kecil, maka organisasi itu dinilai makin baik. Bila berpedoman pada konvensi itu untuk sementara Sukma tampak “bersih”.

Audit yang dilakukan Kantor Akuntan Publik Prasetio, Sarwoko & Sandjaja (E&Y) meliputi pemeriksaan, atas dasar pengujian, bukti-bukti yang mendukung jumlah-jumlah dan pengungkapan dalam laporan keuangan yayasan. Audit juga meliputi penilaian atas prinsip akuntansi yang digunakan dan estimasi signifikan yang dibuat manajemen serta penilaian terhadap laporan keuangan secara keseluruhan.

Kantor akuntan ini berpendapat, laporan keuangan yang mereka sebut di atas menyajikan secara wajar. ”Sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia,” demikian bunyi kalimat akhir laporan hasil audit.

Kendati sebagian hasil audit itu sudah dirilis di situs milik yayasan, hingga Mei lalu tak banyak donatur yang mengakses dan membaca hasil audit tersebut.

“Apa yang dilakukan Sukma sudah cukup baik. Tapi hasil audit itu juga harus diumumkan kepada tiap donatur. Itu kalau mereka benar-benar mau menjadi lembaga filantropi yang serius tidak hanya fokus di Aceh. Sehingga publik juga bisa menilai dan dapat mengikat loyalitas donatur,” ujar Hamid.

Donatur pun banyak yang tak tahu prosedur ini. Mereka datang dari macam-macam kalangan, mulai dari anak sekolah, ibu rumah tangga, pegawai bank, pengusaha sampai perusahaan-perusahaan besar. Warga biasa yang spontan menyumbang umumnya tak memikirkan lagi nasib sumbangan mereka. Yang penting sudah disalurkan ke pihak korban.

“Niatnya, ya ikhlas saja,” kata Mutia Safitri.

NEGERI kincir angin, Nederland, punya dam yang berfungsi mengontrol gelombang pasang air laut. Di negeri
malang yang sohor karena korupsi, auditor bisa jadi sebuah alat menangkal kebocoran atas gelombang aliran uang bantuan.

Dalam tempo kurang setahun, Yayasan Sukma yang dibina Paloh berhasil mengendalikan uang bantuan. Popularitas Paloh juga terdongkrak. Tapi jangan lupa bahwa dia politisi. Bencana alam tak bisa dibuat, tapi bisa bermanfaat.

*) Dipublikasikan di sindikasi Aceh Feature Service.
Sumber: samiaji bintang

September 28, 2009

Pemahaman Kami Berdua Soal NAD: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Sejarah

Artikel utama: Sejarah Aceh

Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

[sunting] Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

[sunting] Perang Aceh

Teuku Umar

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.

Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda.

Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.

[sunting] Masa penjajahan

[sunting] Bangkitnya nasionalisme

Replika pesawat Dakota RI-001 Seulawah sumbangan rakyat Aceh di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh

Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Moehammad Hasan).

Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.

Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.

[sunting] Masa Republik Indonesia

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.

Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.

Pasca Gempa dan Tsunami 2004, yaitu pada 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.

Tentang Aceh: Marissa Haque & Ikang Fawzi


Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.

Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.

Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Visit Banda Aceh 2011 bersama Cut Mini: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Cut Mini: Langkahkan Kaki Anda ke Banda Aceh

                    Cut Mini Theo. (Foto: Go Spot)
Cut Mini Theo. (Foto: Go Spot)
JAKARTA - Cut Mini mendukung upaya pemerintah kota Banda Aceh dan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk mempromosikan ibu kota provinsi tersebut.

"Aceh tidak terlalu berat untuk dipromosikan, karena banyak sekali orang-orang yang mengenal kota Aceh," ungkap aktris yang mendukung program pariwisata daerah asalnya, ditemui di Balairung Sapta Pesona, Kemenbudpar, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (19/10/2010).

Mini mengaku senang sekali, ternyata pemerintah membuat program 'Visit Banda Aceh 2011', yang akan berjalan mulai awal tahun depan. Meskipun pernah diterjang Tsunami 2004 silam, menurutnya, kota Banda Aceh masih memiliki tempat wisata yang bagus.

"Pantainya juga tidak kalah dengan yang lain. Danaunya tidak kalah dengan danay yang lain dan berwarna-warni," ujarnya sekaligus promosi.

Pemeran Ibu Guru Muslimah dalam Laskar Pelangi ini yakin Banda Aceh siap menerima semua wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Menurut Mini, belum diluncurkannya program pariwisata ini saja, sudah banyak wisatawan yang datang.

"Dengan adanya 'Visit Banda Aceh 2011', semoga lebih banyak wisatawan lagi yang datang," harapnya.
Mini menggambarkan kegembiraan Banda Aceh dan keceriaannya selalu berkobar-kobar. Apalagi warna daerah itu tidak ada yang sendu.

"Cuma untuk yang belum datang ke sana dan sering mendengar bahwa Aceh itu bagaimana, cobalah langkahkan kaki Anda ke Banda Aceh. Anda akan menemukan tempat yang indah, makanan-makanan yang enak dan seru, dengan segala keramahan masyarakat Aceh," papar Mini tak berhenti berpromosi. (okeZone)

Irwandi Yusuf Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD): dalam Ikang Fawzi & Marissa Haque

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Gubernur: Irwandi Yusuf

Irwandi Yusuf atau lengkapnya drh. Irwandi Yusuf M.Sc. (lahir di Bireuen, Aceh, 2 Agustus 1960; umur 48 tahun) adalah Gubernur Aceh sekarang ini.

Bersama wakilnya, ia dilantik pada 8 Februari 2007 oleh Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf di hadapan 67 anggota DPR Aceh.

Penyanyi-penyanyi Lawas Masih Pukau Penggemar: Acara Mbak Vonny Lidya Edi dalam Marissa Haque & Ikang Fawzi

Para penyanyi lagu-lagu lawas seperti Obbie Mesakh, Christine Panjaitan, Dian Pishesa dan, Achmad Albar menyapa pengemarnya dalam konser bertajuk “Tembang Album Kenangan” yang digelar di Kota Banda Aceh, Sabtu (20/2) malam. Konser tembang kenangan itu dibuka dengan lagu berjudul Love milik D`Mercy yang dinyanyikan Helmi Yahya selaku pembawa acara.

Tembang tempo dulu itu seakan menghipnotis penikmatnya yang juga ikut bernyanyi saat sang penyanyi mendendangkan lagu yang melejitkan nama mereka pada era 80-an. Seperti tembang berjudul Katakan Sejujurnya yang dinyanyikan dengan apik oleh Christine Panjaitan. Lagu yang diciptakan musisi Rinto Harahap sekitar 1986 itu menghanyutkan pendengarnya.

Begitu juga dengan lagu Kisah Kasih di Sekolah yang didendangkan Obbie Mesakh, membawa penggemarnya kembali ke masa-masa sekolah. Dian Pishesa juga tidak ketinggalan dengan lagu andalannya berjudul Tak Ingin Sendiri atau lebih dikenal dengan judul Aku Masih Seperti yang Dulu.

Dan, suasana semakin meriah saat roker gaek Achmad Albar memanjakan ratusan pemirsa dengan lagu lawas Sudahlan Aku Pergi ciptaan Yongki Suwarno. Vokalis grup band God Bless itu juga menyanyikan Syair Kehidupan dan Dunia Panggung Sandiwara. Hentakan musik bertempo cepat yang mengiringi lagu Kehidupan kian meriahkan suasana.

Voni Waluyo dari Nostalgia Fan`s Club mengatakan, sudah sejak lama ingin menggelar Tembang Lagu Kenangan di Aceh. Namun, baru kali ini berhasil mengabulkan keinginan tersebut. Untuk pertama kalinya, acara itu digelar di Aceh. “Saya sangat bahagia dan terharu akhirnya bisa menggelar Tembang Lagu Kenangan di Banda Aceh, yang juga tanah kelahiran saya. Saya harap ke depan acara yang sama bisa kembali di gelar di Aceh,” kata Voni.

Para penyanyi lawas itu menghibur penggemarnya hingga hampir selama tiga jam. Di sela-sela tembang, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf beserta istri, Darwati A. Gani menerima penghargaan dari panitia acara. Pada acara yang diselenggarakan di Hermes Palace Hotel itu juga turut dihadiri sejumlah pejabat teras di Aceh.

sumber : liputan 6

Marissa Haque & Ikang Fawzi: Ketika Alam Tak Ingin Menyakiti 'Rumah Allah'

Subhanallah! Masjid di Pesisir Mentawai Tak Tersentuh Tsunami

Sumber : Wahw33d Blog

Subhanallah..!!!. Ada Masjid Di Pinggir Pantai Tak Tersentuh Tsunami Di Mentawai - Pagi itu, sekitar pukul 10.00 WIB, langit Sikakap tampak mendung. Di luar rumah tanah tampak lanyah. Pepohonan dan rerumputan masih basah setelah diguyur hujan deras sepanjang malam. Sebentar lagi, sepertinya hujan deras bakal turun. Ya, membasuh duka Bumi Sikerei.

Di luar rumah, bau mayat menyengat. Aroma tak sedap menebar ditiup angin. Memang, hingga Jumat (29/10), mayat masih bergelimpangan di pinggir jalan. Pikiran saya langsung terbayang ratusan warga Pagai Selatan yang bertahan di perbukitan, dalam kondisi hujan badai. Selain menahan lapar, dinginnya malam, mereka harus melawan penyakit yang kini menyerang.

Ternyata benar. Hujan deras mengguyur Sikakap. Tak hanya hujan, tapi juga badai. Di posko utama, para jurnalis dan relawan telah berkumpul. Seperti biasa, setiap pagi kami siap-siap menyisir desa terpencil yang belum terjamah bantuan. Pagi itu, tim relawan dan jurnalis hendak menuju Dusun Pasa Puat di Pagai Utara. Dusun itu, semua rumah hancur. Mujur, tidak ada korban jiwa.

http://www.voa-islam.com/timthumb.php?src=/photos2/masjid-tua.jpg&h=235&w=355&zc=1

..."Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami sadar ini adalah kehendak Tuhan,...

Perjalanan menggunakan kapal kayu atau long boat. Kapal itu mampu memuat 12 orang dan sedikit logistik untuk pengungsi. Berapa menit berlayar, gelombang dua meter menghadang. Pelayaran pun dihentikan. Setelah menunggu sekitar satu jam, boat yang dinakhodai Dayat itu dilanjutkan selama dua jam pelayaran. Sepanjang perjalanan, boat nyaris karam karena dipenuhi air. Kami sampai di tujuan sekitar pukul 17.00 WIB.

Dari pantai, Dusun Pasa Puat sunyi senyap. Sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda seperti sebuah kampung. Permukiman penduduk rata dengan tanah. Tak satu pun rumah warga yang berdiri. Semua tiarap. Hanya ada satu bangunan berdiri kokoh menghadap pantai. Ya, sebuah masjid. Garin masjid itu juga selamat. Zulfikar namanya.


Hari beranjak senja. Hujan belum juga reda. Zulfikar tampak bersiap menunaikan Shalat Maghrib. Dalam obrolannya, pria berusia 40 tahun itu mengaku telah tingal di dusun itu sejak kecil. Sama dengan usia masjid itu yang berdiri sekitar tahun 1960 silam. "Ini masjid tertua di dusun kami. Bentuk masjid itu sudah tidak asli lagi, karena terus diperbaiki," ujar Zulfikar.


Zulfikar menceritakan, masjid ini sama sekali tidak tersentuh tsunami pada malam itu. Padahal, lokasinya tidak jauh dari pantai. Sedangkan rumah-rumah warga di sekitar masjid, rata dengan tanah. Masjid inilah yang menjadi tempat perlindungan masyarakat saat gelombang besar datang.


Seperti mukjizat, air laut hanya sampai di teras masjid. Di luar masjid, Zulfikar melihat dengan mata kepala sendiri gelombang tsunami mencapai delapan meter. "Kami dalam masjid ada sekitar 50 orang, sedangkan warga yang lain telah menyelamatkan diri ke perbukitan yang berjarak satu kilometer dari masjid. Melihat masjid tidak kena sama sekali, kami merasa heran. Setelah itu kami sadar ini adalah kehendak Tuhan," jelas pria berjenggot itu.


Zulfikar dan 50 warga lainnya tidak henti-henti mengucap kebesaran Allah. Di luar masjid, tsunami terus menerjang sebanyak tiga gelombang. Tiada yang menduga, tsunami menghindar dari masjid. "Sepertinya, di masjid air terbelah, sehingga lantai masjid pun tidak basah sama sekali," kenangnya. ( voa-islam.com )


source:

NASA (Vivanews.com) dalam Marissa Haque Fawzi: Foto Keajaiban Tsunami Aceh

VIVAnews - Pada 26 Desember 2004, gempa bumi bawah laut 9,1 skala Richter mengguncang Samudera Hindia di lepas pantai Sumatera Utara, Indonesia. Dampak gempa itu begitu kuat sampai 1.200 kilometer dari pusat gempa, hingga mencapai Alaska.

Gempa dahsyat itu memicu tsunami mematikan. Tsunami menyapu sejumlah pantai di Samudera Hindia hingga ketinggian 30 meter. Lebih dari 230.000 orang tewas dan jutaan lainnya kehilangan tempat tinggal.

Situs Badan Antariksa Amerika Serikat, NASA, mengabadikan foto Aceh, sebelum dan sesudah diterjang gelombang gergasi, tsunami.

Salah satu foto menggambarkan kondisi Kota Lhoknga, di pantai barat Sumatera dekat Ibukota Aceh, Banda Aceh. Kota itu rata dengan tanah.

Namun, sebuah keajaiban tampak. Dalam foto terlihat fitur melingkar berwarna putih. Itu adalah sebuah masjid yang selamat dan berdiri kokoh di tengah segala kehancuran.

NASA: Aceh pasca tsunami1

NASA: Aceh sebelum tsunami1
Foto selanjutnya direkam menggunakan instrumen Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) di Satelit Terra milik NASA.

Foto ini menggambarkan kondisi sebelum tsunami pada pada 17 Desember 2004, dan tiga hari paska bencana, 29 Desember 2004 (atas).

Awalnya, terlihat vegetasi hijau di sepanjang pantai barat, juga bentangan pasir putih. Setelah gempa dan tsunami, wilayah pantai tampak berwarna coklat keunguan.

NASA: Aceh pasca tsunami3

NASA: Aceh sebelum tsunami3

Foto lain diambil instrumen Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM +) menunjukkan area kecil di sepanjang pantai Sumatera di Provinsi Aceh, di mana tsunami menghancurkan jalan darat.

Di daerah ini, gelombang raksasa menyebabkan kerusakan total di area 1,5 kilometer persegi dari bibir pantai. (art)

NASA: Aceh pasca tsunami2

NASA: Aceh sebelum tsunami2

• VIVAnews
http://nasional.vivanews.com/news/read/195543-nasa--ini-foto-keajaiban-tsunami-aceh

Iskandar Norman dalam Marissa haque & Ikang Fawzi: Catatan Perjuangan di Aceh

138 Tahun Invansi Belanda ke Aceh

26 Maret 2011, tepat 138 tahun peristiwa paling bersejarah bagi Aceh terjadi; Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.

Jendral Kohler

Jendral Kohler

RABU, 26 Maret 1873, di atas kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Setalah itu serangan besar-besaran dilakukan ke daratan Aceh. Belanda gagal total, Panglima Perang Belanda, JHR Kohler tewas.

Surat pernyataan perang oleh Belanda itu ditulis pada 26 Maret 1873, dan disampaikan kepada Sultan Aceh pada 1 April 1873. Pernyataan perang itu antara lain berbunyi. “Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama Pemerintah, menyatakan perang kepada Sulthan Aceh..”

Pernyataan perang pihak Belanda itu dijawab dengan tegas oleh Sulthan Alaiddin Mahmud Syah pada hari itu juga. “…kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagai juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan yang maha kuasa…,”

Penolakan secara halus itu membuat Belanda berang dan berencana untuk melancarkan serangan ke Aceh setelah membacakan maklumat perang terhadap Aceh. Maklumat itu dibacakan setelah beberapa kali surat menyurat yang tegang antara sultan Aceh dengan Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal perang Citadel van Antwerpen.

Menurut Ali Hasjmy dalam “Peranan Islam dalam Perang Aceh” isi surat penolakan itu terkesan lembut, tapi pada hakikatnya adalah suatu pernyataan keteguhan hati dan iman seorang muslim sejati yang hanya mengakui kekuasaan dan perlindungan Tuhan.

Untuk menghadapi ancaman Belanda itu, maka Sultan Alaiddin Mahmud Syah menggelar musyawarah kerajaan pada 10 Zulkaidah 1288 Hijriah (1872 Masehi) di dalam Mesjid Baiturrahim Daruddunia. Dalam musyawarah itu hadir para ulama besar, menteri dan uleebalang seluruh Aceh.

Kala itu Sulan Aceh menjelaskan tentang bahaya yang sedang mengancam Aceh, yakni datangnya imperialis Belanda yang akan memerangi Aceh. Terhadap ancaman itu, muasyawarah melahirkan kesepakatan dan keputusan akan melakukan perang total kalau Belanda menyerang Aceh.

Sebagai tanda kesepakatan tekad itu, maka para peserta musyawarah mengucapkan sumpah. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. Sumpah tersebut berbunyi:

“Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini thaat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”

Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh.

Belanda Menyerang Aceh

Setelah maklumat perang dinyatakan pada 26 Maret 1873, sebulan kemudian, Senin, 6 April 1973, Belanda mendaratkan pasukannya di Pante Ceureumen, Ulee Lheue dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler.

Tak tanggung-tanggung, dalam penyerangan pertama ke Aceh itu, Belanda mengerahkan enam kapal perang, yakni Djambi, Citaden van Antwerpen, Marnix, Coehoorm, Soerabaya, dan kapal perang Sumatera. Ditambah Siak dan Bronbeek, dua kapal angkatan laut Pemerintah Belanda.

Selain itu ada lima barkas, delapan kapal ronda, satu kapal komando, enam kapal pengangkut, serta lima kapal layar, yang masing-masing ditarik oleh kapal pengangkut. Tiga diantaranya untuk mengangkut pasukan alteleri, kavelari, dan para pekerja, satu untuk amunisi dan perlengkapan perang, serta satu kapal lagi untuk mengangkut orang-orang sakit.

Armada Belanda tersebut dipimpin oleh Kapten laut J.F Koopman dengan kekuatan 168 orang perwira yang terdiri dari 140 orang Eropa, serta 28 orang Bumiputere, 3.198 pasukan yang 1098 diantaranya orang-orang Eropa, sisanya 2.100 orang tentara dari Bumi Putera, yakni tentara bayaran Belanda dari Jawa.

Pasukan itu juga diperkuat dengan 31 ekor kuda perwira, 149 kuda pasukan, 1.000 orang pekerja dengan 50 orang mandor, 220 wanita dari Jawa yang masing-masing ditempatkan 8 orang untuk satu kompi tentara Belanda, serta 300 pria dari Jawa untuk pelayan para perwira Belanda. Dalam penyerangan perdana Belanda ke Aceh itu, Kohler dibantu oleh Kolonel E.C van Daalen, Wakil Panglima merangkap Komandan Infantri.

Begitu mendarat, pasukan Belanda langsung digempur oleh pasukan Aceh, terjadilah perang sengit. Setelah bertempur dengan susah payah, pada 10 April 1873, Belanda dapat merebut Mesjid Raya. Akan tetapi karena tekanan-tekanan dari pejuang Aceh yang dipimpin Tgk Imuem Lueng Bata, Belanda pun harus meninggalkan Mesjid Raya.

Empat hari kemudian, 14 April 1873, Belanda kembali mencoba untuk menyerang Mesjid Raya. Dalam pertempuran tersebut Panglima Perang Belanda, Mayor Jenderal J.H.R Kohler tewas ditangan pejuang Aceh. Tujuan Belanda untuk menguasai Dalam (Kraton-red) gagal total.

Pada pertempuran itu selain Kohler dipihak Belanda juga tewas delapan orang perwira. Belanda benar-benar mendapat tamparan dari perlawanan gigih pejuang Aceh. Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai, setelah mendapat izin dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia (Jakarta-red) pada 23 April 1873. Kapal-kapal angkatan perang Belanda itu pun meninggalkan Aceh pada 29 April 1873, kembali ke Batavia.

Karena Belanda mengalami kegagalan dalam penyerbuannya ke Aceh, tak lama kemudian Jenderal G.P Booms dalam bukunya “De Erste Atjeh Expediti en Hare Enguete” mengecam Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia atas kegagalan tersebut, karena dinilai terlalu menganggap remeh kekuatan Aceh.

Dalam buku itu ia menulis, “Blijkbaar rekende men dus op een gemakkelijke overwinning. De feiten, een jarenlange ervaring, hebben echtar getoond, dat men te maken had men telrijken, energieken vijand,…met een volk van een ongekende doodsveracting,dat zich onverwinbaar achtte…die ervaring leert in een woord, dat wij niet gestaan hebben tegenover een machteloozen sultan wiens rijk met den valvan zijn kraton zou ineenstorten maar tegenover een volksoorlong,die behalve over al de materieele middelen vaqn het land, over geweldige moreele krachten van fanatisme of patriotisme beschikte..”

Artinya: telah diperkirakan suatu kemenangan yang akan diperoleh dengan mudah. Akan tetapi, pengalaman bertahun-tahun lamanya memberikan petunjuk, bahwa yang dihadapi itu adalah musuh dalam julah besar yang sangat gesit ….. suatu bangsa yang tidak gentar menghadapi maut, yang menganggap ia tidak dapat dikalahkan…. Pengalaman itu memberi pelajaran, bahwa kita tidak dapat mengahadapi seorang Sultan, yang kesultanannya akan berubah dengan jatuhnya kraton, akan tetapi kita menghadapi rakyat yang menentukan harta benda negara, memilki tenaga-tenaga moril, seperti cinta tanah air.”

Dalam sidang Palemen Belanda ada tanggal 15 Mei 1877, Menteri Urusan Koloni, Belanda memberikan jawaban atas interpelasi yan menyoalkan kegagalan Belanda itu, “Wij hebben te trotseeren gehad een ongekande doodsveracthing, een volk dat zich onverwinbaar achtte.” Artinya “Kita telah menghadapai maut, bangsa yang menganggap ia tidak sedikit pun gentar menghadapi maut, bangsa yang menganggap ia tidak mugkin dapat dikalahkan.”

Kegagalan Belanda itu terus saja dibicarakan, sampai Belanda pun menaruh hormat atas keberanian pejuang Aceh baik pria maupun wanita. Rasa hormat itu sebagaimana diungkapkan H C Zentgraaff dalam bukunya “Atjeh” ia menulis. “De atjehschevrouw, fier en depper, was de verpersoonlijking van den bittersten haat jegens ons, en van de uiterste onverzoenlijkheid an als zij medestreed, dan deed zij dit met een energie en doodsverachting welke veelal die der mennen overtroffen. Zij was de draagster van een haat die brandde tot den rand van het graf en nog in het aangezicht van den dood spuwde zij hem, den kaphe in het geizcht”.

Artinya “Wanita Aceh gagah dan berani mereka pendukung yang tidak mungkin didamaikan, terhadap kita dan bila ia turut serta bertempur, dilakukannya denga gigih dan mengagumkan, bersikap tidak takut mati yang melebihi kaum pria. Ia mempunyai rasa benci yang menyala-nyala sampai liang kubur dan sampai saat mehhadapi maut, ia masih mampu mendahului muka si kaphe.”

Zentgraaff menilai, wanita Aceh dalam setiap perang menolak setiap perdamaian dan lebih berwatak keras dengan berprinsip membunuh atau dibunuh. Pujian Zentgraaff terhadap wanita Aceh muncul setelah ia menemuai Pocut Di Biheue, seorang wanita pemberani yang menyerang patroli Belanda seorang diri. Kemudian ada lagi kisah keuletan Pocut Baren, yang kakinya harus diamputasi.

Ada lagi kisah istri Teungku Mayed Di Tiro, putra Tgk Chik Di Tiro. Dalam pertempuaran pada tahun 1910, meski sudah dikepung pasukan Belanda, Tgk Mayed Di Tiro bisa meloloskan diri atas bantuan istrinya. Sementara istrinya tertangkap dengan luka para di tubuhnya, sewaktu komandan pasukan Belanda hendak memberikan pertolongan, ia menolaknya. “Bek ta mat kei kaphe budok (jangan sentuh aku kafir celaka),” hardiknya dengan suara lantang. Ia lebih memilih syahid dari pada mendapat pertolongan dari kafir.

Hal yang sama juga diakui oleh Panglima Perang Belanda di Aceh, Jenderal Van Pel. Dalam buku ES Klerek: History of Netherland Eas Indie ia mengakui jatuhnya mental tentara Belanda akibat perlawanan sengit dari rakyat Aceh. Ia menulis:

“The proclamation of direct rule over Acheh pi proper had been a mistaken idea; there could be not question of conquest for the time being, the standing army in Acheh beingdepleted by the heavy losses suffered and the consequent large drainage of force.” (Proklamasi tentang langsung dijajah/diperintah Aceh, sesungguhnya adalah cita-cita yang amat salah. Sebenarnya soal menang tidak ada waktu itu. Keadaan serdadu di Aceh sangat menyedihkan karena menderita kekalahan hebat dan akibatnya kemusnahan kekuatan yang besar).[]

Penulis Iskandar Norman

Show Musik di Aceh oleh Mbak Vonny Lidia Edi: dalam Marissa Haque & Ikang Fawzi

Sejumlah Artis "Tempo Dulu" Hibur Aceh

Entertaiment | February 18, 2010 at 22:53

Mbak Vonny Lidia Edi adalah Ibu Bhayangkari yang sangat gesit sebagi seorang EO, Kami sering terundang ke aceh dan Medan bersamanya. Mbak Vonny adalah alumni LP3I di Kota Banda Aceh. Jadi selain bersahabat, kami juga bersaudara LP3I. Semoga mbak Vonny selalu maju dan sejahtera adanya.

Doa kami,
Ikang Fawzi & Marissa Haque

(ANTARA News) – Sejumlah artis papan atas yang pernah populer pada tahun 80-an akan menghibur para fans setia mereka di Kota .

“Beberapa artis ` ` seperti Ahmad Albar, Obbie Mesakh, Dian Pisesa dan Christine Panjaitan akan menghibur penggemarnya di ,” kata panitia konser, Ayi Sarjev di , Kamis.

Koser bertajuk “Tembang Kenangan” itu akan digelar di Hermes Palace Hotel pada Sabtu, 20 Februari mendatang dan Panitia hanya menyediakan 300 tiket masuk sehingga tempat sangat terbatas.

Menurut Ayi, konser tersebut menjadi ajang silaturrahmi untuk mempertemukan kembali para artis legendaris dan penggemarnya yang ada di tanah rencong.

Selain itu juga untuk memberi hiburan kepada masyarakat yang telah merasakan perdamaian setelah konflik dan setelah bangkit kembali dari musibah tsunami 2004.

Namun bagi fans yang tidak mendapatkan tiket bisa menyaksikan langsung penampilan artis-artis legendaris itu di TVRI.

Pada konser itu, rocker “gaek” Ahmad Albar akan membawa lagu nostalgia seperti pangung sandiwara dan bis kota.

Sementara Obbie Mesakh juga bakal menyapa penggemarnya dengan single-nya yang sempat melejit yaitu kisah kasih di sekolah.

Bukan hanya artisnya yang terkenal, konser juga akan dipandu presenter kawakan, Helmi Yahya.

Selain diisi artis ibukota yang terkenal di jamannya, konser tersebut juga akan dimeriahkan sejumlah seniman lokal Moriza Taher sang pianis dan penampilan Rapa`i Geleng.

(D016/R009)

Source: AntaraNews.com – Hiburan

OTisTa-SCTV : Ikang Fawzi Suami Marissa Haque & Helmalia Putri Kunjungi Korban Tsunami



Ikang Fawzi Suami Marissa Haque &
Helmalia Putri Kunjungi Korban Tsunami

Kapanlagi.com - Ikang Fawzi dan Helmalia Putri telah menunjukan kepedulian mereka pada penderitaan korban tsunami dengan mengunjungi sejumlah pasien yang dioperasi di RS Nanggroe Aceh Darussalam. Ikang mengunjungi Aceh tersebut sebagi duta Bulan Sabit Merah Indonesia.

Berhubungan dengan tugas barunya ini Ikang megaku menikmatinya. Dalam ungkapanya yang dikutip acara selebriti O-Tis-Ta, SCTV suami Marissa Haque ini mengatakan hal semacam ini tak dapat dibeli.

Sedang Helmalia menunjukan perhatiannya dengan mendekati beberapa pasien satu per satu. Helmalia mengaku terkejut dengan banyaknya pasien akibat bencana tsunami tersebut. (sct/erl)

Sumber: http://www.kapanlagi.com/showbiz/selebriti/ikang-fawzi-helmalia-putri-kunjungi-korban-tsunami-qmewu4f_print.html

Hari Cut Nyak Dhien Tak Pernah Ada: Marissa Haque dalam Shahnaz Haque

Shahnaz Haque: Mengapa tidak Ada Hari Cut Nyak Dhien?

Hari Cut Nyak Dhien Tak Pernah Ada: Marissa Haque dalam Shahnaz Haque
Kami Berenam Insya Allah Kompak

BANDA ACEH – Artis dan presenter ibukota, Shahnaz Haque mengaku jatuh hati dan mengidolakan pahlawan nasional perempuan asal Aceh Cut Nyak Dhien sejak kecil. Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ia bertanya pada guru di sekolahnya, kenapa Indonesia tidak memperingati Hari Cut Nyak Dhien? Shahnaz kecil kritis bertanya mengapa Indonesia hanya punya Hari Kartini.
“Apa karena selama ini presidennya orang Jawa? Kalau presidennya orang Aceh mungkin ada Hari Cut Nyak Dhien. Itu pertanyaan saya waktu umur 10 tahun,” kata istri Gilang Ramadhan itu, usai bertindak menjadi moderator talkshow “Tetap Sehat dengan Diabetes Mellitus” yang diselenggarakan oleh Prodia, di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, Sabtu (8/11).

Adik dari Marissa Haque dan Soraya Haque ini mengetahui banyak tentang Cut Nyak Dhien lewat ibunya. Mieke, sang ibu suka membacakan buku-buku pahlawan sebagai pengganti dongengan fiksi. “Hebat engga tuh ibu saya. Dia ceritakan tentang Dewi Sartika, Kartini, Cut Nyak Dhien, Christina Martha Tiahahu, sebelum tidur. Di antara semua pahlawan wanita itu, saya paling jatuh hati sama Cut Nyak Dhien,” sebut wanita kelahiran Jakarta, 1 September 1972 ini.

Bagi Shahnaz yang energik sejak kecil, cenderung memilih perjuangan seperti Cut Nyak Dhien yang menurutnya trengginas. Ia kagum Cut Nyak Dhien sebagai perempuan punya multitalenta, lebih banyak berbuat daripada menulis-nulis saja. “Begini nih pikiran aku dari kecil, kayaknya jika aku jadi pahlawan aku pasti pengen yang kayak Cut Nyak Dhien,” kenangnya.

“Hingga sekarang Indonesia belum menjadikan Hari Cut Nyak Dhien diperingati secara nasional. Indonesia baru punya Hari Kartini, padahal Cut Nyak Dhien kan inspiratif sekali,” tuturnya bersemangat dan mendukung adanya peringatan Hari Cut Nyak Dhien secara nasional.

Menurutnya untuk lebih maju, perempuan Aceh hanya perlu diberikan banyak kesempatan. “Kita punya Cut Nyak Dhien bukan? Seratus tahun Cut Nyak Dhien baru saja diperingati. Malulah sama almarhumah Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati kalau perempuan Aceh tidak maju,” gugahnya.

Di masa sekarang ia juga mengagumi sosok Eli Risman, ahli parenting asal Aceh. “Saya melihat bagaimana ibu Eli Risman yang sangat Aceh itu maju aktif dan inspiratif sekali. Buat saya tidak ada alasan perempuan Aceh tidak maju. Karena dari nenek moyangnya perempuan-perempuan Aceh punya energi lebih banyak, lebih kuat dan tabah daripada perempuan lain,” simpul penyuka ayam tangkap, kuliner khas Aceh ini.

Kedatangan pemilik nama lengkap Shahnaz Natasya Haque kali ini, sudah lebih dari 25 kali ke Aceh. Dibalut busana muslimah hijau dipadu kerudung, ia tampil cerdas dan memikat memandu kegiatan yang diikuti ratusan peserta talkshow Kendali Diabetes Cegah Komplikasi bersama Prodia tersebut. “Waktu tsunami saya menjadi relawan bersama Imam Prasodjo dengan Nurani Dunia sampai satu bulan. Saya sudah mengelilingi Aceh, termasuk ketempat-tempat terpencil,” ujar lulusan Fakultas Tehnik Sipil UI 1996 itu.

Ditanya tentang adanya piagam Women Charter di Aceh sebagai event pertama di dunia, ia merasa memang sudah waktunya perempuan-perempuan diberikan penghargaan, apalagi perempuan di Aceh. “Perempuan mesti mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik, mendapat kesempatan meningkatkan potensi secara optimal supaya dapat melakukan banyak hal,” papar bungsu dari pasangan Allen dan Mieke ini.

Ibu tiga anak, Prustin Aisha, Charlotte Fatima, dan Mieke Namira ini ingin membentuk anaknya menjadi pribadi mandiri. Ia suka membawa anaknya mengenal alam dan menumbuhkan pribadi petualang. “Saya lebih suka mengajak anak-anak saya main ke alam daripada ke mall. Ke pantai, sungai, main dengan sapi atau kerbau. Saya ingin anak-anak saya punya pribadi adventurer, yang berani mengambil resiko. Punya kecerdasan emosional yang baik, dan temannya banyak,” pungkasnya. (ami)

(1) Sumber: http://syukriy.wordpress.com/2008/11/11/shahnaz-haque-mengapa-tidak-ada-hari-cut-nyak-dhien/

(2) Serambi Indonesia, 09/11/2008., aceh, cut nyak dien

Marissa Haque: Aceh Aman untuk Dikunjungi

Banda Aceh, 1 April 2004 12:50

Sumber: http://www.gatra.com/2004-04-01/artikel.php?id=35190

Aktris senior Marissa Haque menilai, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ternyata cukup aman dan tidak seperti dibayangkan orang-orang yang berada di luar daerah Serambi Mekah itu.

"Saya mendengar di luar bahwa Aceh itu menyeramkan, sehingga membuat keluarga dan kalangan kerabat saya menjadi khawatir ketika saya memutuskan untuk berkunjung ke daerah ini," katanya kepada Antara di Banda Aceh, Kamis.

Ia menjelaskan, kondisi keamanan di provinsi berpenduduk sekitar 4,2 juta jiwa itu sesungguhnya tidak seperti yang banyak digambarkan orang-orang yang berada di luar Aceh.

"Ketika menelepon keluarga bahwa saya sudah mendarat di Aceh, spontan keluarga di Jakarta menanyakan apakah kondisi Aceh aman, dan terus mengingatkan agar saya berhati-hati," ujar Marissa Haque, yang akrab dipanggil Icha itu.

Kehadiran Marissa Haque ke provinsi yang sedang digelar operasi terpadu dengan tingkat darurat militer itu untuk berkampanye bagi partai politik PDI Perjuangan. Selain itu, isteri penyanyi rock Ikang Fauzi tersebut juga akan menjadi salah seorang pemakalah dalam seminar tentang kebudayaan Aceh.

Di pihak lain, Marissa menyatakan kagum atas sikap ramah dan sopan masyarakat terutama kaum perempuan di daerah Serambi Mekah itu.

"Saya kagum dengan perempuan Aceh yang begitu gigih dalam bersikap dan memperjuangkan nasibnya meski daerah ini sedang dilanda konflik bersenjata. Saya mendengar bahwa cukup banyak kaum perempuan Aceh yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya," ujarnya. [Tma, Ant]

Tentang Gempa Bumi di Aceh: Marissa Haque & Ikang Fawzi


Marissa Haque & Ikang Fawzi: Pendaftaran Siswa Baru Tahun Ajaran 2010-2011


Telah dibuka Pendaftaran siswa baru tahun Ajaran 2010-2011 Semua Jurusan LP3I Business College Cabang Langsa. Informasi Pendaftaran Silakan Datang Langsung Ke LP3I Cabang Langsa JLN.ISKANDAR SANI NO. 10-11. KAMPUNG MEUTIA KOTA LANGSA. TELP. 0641 22312 SMS 081269246490 atau Melalui Pendaftaran Online KLIK DISINI

Marissa Haque & Ikang Fawzi: LP3I & Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Hari Ini


Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)

Penyerahan Cendra mata Marisahaqu & Ikang Fauzi Berfoto dengan Branch Manager Lp3I Cabang Langsa Bapak Zulkifli, SE , dalam Acara Seminar Motifasi Yang Diadakan LP3I dikampus LP3I Langsa pada tanggal 20 Maret 2011. dalam Acara Itu juga Marisa Menyerahkan Beasiswa untuk siswa siswi Sekolah yang ada di Langsa, Aceh Tamiang dan Aceh Timur.

Kompas Cyber Media: Aceh Dikunjungi Marissa Haque Istri Ikang Fawzi

Marissa Haque Akan Tampil Dalam Seminar Kebudayaan NAD

(1) Sumber: http://www.marissahaque-dulu-pdip.net/berita/seminar.php
(2) Sumber: Kompas Cyber Media, Jakarta

Haque Sisters, Marissa and Soraya, Shahnaz Bintang film Hj Marissa Haque dipastikan akan hadir sebagai nara sumber dalam seminar kebudayaan Aceh yang diselenggarakan panitia Hari Pers Nasional (HPN) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bekerja sama dengan Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jumat (2/4).

Kepastian tampilnya isteri Ikang Fawzy itu disampaikan Ketua Panitia HPN Provinsi NAD Saidulkarnain Ishak di Banda Aceh, Rabu. Menurut dia, kedatangan bintang film itu tepat waktu karena pemerintah daerah Provinsi NAD telah mencanangkan 2004 sebagai tahun budaya masyarakat daerah itu.

"Seyogianya seminar ini dilaksanakan hari Kamis, 1 April 2004, namun karena suatu lain hal maka ditunda menjadi hari Jumat. Kami berpikir, penundaan ini ada hikmahnya. Yang kita harapkan sukses dan kegiatan ini membawa manfaat dalam upaya mengembalikan nilai-nilai budaya masyarakat Aceh," katanya.

Pelaksana tugas Dinas Kebudayaan Provinsi NAD Drs H A Madjid AR menyambut baik seminar yang diprakarsai panitia HPN PWI NAD. Seminar ini merupakan sumbangsih pemikiran wartawan anggota PWI Provinsi NAD dalam upaya mengangkat potensi budaya bernuansa Islami masyarakat daerah "Serambi Makkah" tersebut.

"Kami menyambut positif kegiatan ini, apalagi panitia menghadirkan bintang film Marissa Haque. Seminar kebudayaan ini sejalan dengan pencanangan tahun 2004 sebagai tahun budaya masyarakat Aceh oleh Gubernur H Abdullah Puteh," katanya didampingi Kasubdin Bina Program Dinas Kebudayaan H Maulisman Hanafiah.

Saidulkarnain menjelaskan, Marissa Haque akan menjadi nara sumber dan dia diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang bagaimana pandangan orang luar terhadap kebudayaan Aceh dalam seminar yang diikuti sekitar 200 tersebut.

Marissa Haque diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran akurat tentang bagaimana pandangan orang luar daerah Provinsi NAD terhadap budaya masyarakat Aceh. Ini penting untuk memberi motivasi bagi masyarakat provinsi ujung paling barat di Indonesia itu, tambahnya.

Dia mengatakan, selain nara sumber Marissa Haque, panitia juga menampilkan pemakalah dari kampus Darussalam, yakni pakar sejarah Prof Dr M Isa Sulaiman dan pakar hukum adat Aceh Drs HA Hamid Sarong SH MH yang juga dekan Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry.

"Melalui seminar ini diharapkan dapat mengangkat kembali nilai-nilai budaya masyarakat Aceh yang dalam beberapa dasawarsa terakhir terlihat memudar. Misalnya, perilaku disiplin dalam kehidupan dan berkata jujur dan benar," katanya.

Adat dan kebiasaan masyarakat tempo dulu yang sejalan dengan ajaran Islam seyogianya perlu digali dan diimplementasikan dalam kehidupan, sehingga pemberlakuan syariat Islam di daerah ini berjalan seiring dengan kesadaran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Nilai-nilai budaya masyarakat yang relevan dan tidak bertentangan ajaran Islam perlu dikembalikan agar kehidupan masyarakat daerah ini lebih terlihat nuansa Islami penuh trendi dengan gaya modern religi.

"Kami berharap, kegiatan yang berhasrat mengembalikan nilai-nilai budaya masyarakat Aceh ini dapat menggugah semua pihak untuk mengimplementasikan budaya bernuansa Islami. Panitia juga berupaya membantu pemerintah daerah di bidang budaya," demikian Saidulkarnain Ishak.(Ant/jy)

Sumber: Kompas Cyber Media, Jakarta

Duta LP3I Hj.Marissa Haque & Undangan LP3I Langsa, Aceh Timur Kampung Halaman Dr. Syahrial

Duta LP3I Hj.Marissa Haque & Undangan LP3I Langsa, Aceh Timur Kampung Halaman Dr. Syahrial
Duta LP3I 2010-2011, Hj. Marissa Haque & Ikang Fawzi: Promo LP3I Langsa, Aceh Timur, Maret 2011

Entri Populer